Minggu, 12 Juli 2009

Mengenal Binokular untuk Astronomi

Apabila kebanyakan dari kita ditanya alat apa yang bisa digunakan untuk melihat keindahan langit, bisa dipastikan teleskop adalah kata yang pertama kita ingat. Padahal ada alat alternatif lain yang mungkin sering kita lupakan. Yaitu Binokular, alat ini mungkin lebih dikenal untuk mengamati objek-objek terestrial. Tapi jangan salah, alat ini sangat memadai untuk mengamati objek-objek astronomi.

Binokular adalah alat yang sangat mudah dibawa kemanapun sehingga memungkinkan untuk melihat berbagai objek dengan lebih cepat tanpa harus kerepotan dengan melakukan bongkar pasang. Tapi banyak sekali jenis binokular yang beredar saat ini, sehingga kita harus pintar memilih binokular yang tepat dan sesuai untuk tujuan yang kita inginkan. Jadi, apabila anda ingin membeli binokular untuk stargazing, semoga tulisan ini bisa memberikan sedikit petunjuk.

Spesifikasi yang pertama harus diperhatikan untuk memilih binokular adalah aperture atau diameter lensa depan binokular. Semakin besar aperture berarti semakin banyak pula lensa mengumpulkan cahaya. Ukuran aperture ini bisa dilihat dari 2 angka yang biasanya tertulis di tiap binokular. Misalnya 7X35, berarti binokular ini berdiameter 35 mm dan memiliki perbesaran (magnification) mencapai 7x. Kebanyakan binokular berdiameter 35mm, akan tetapi untuk keperluan astronomi sebaiknya anda memilih paling tidak binokular yang berdiameter 40mm.

Untuk fungsi perbesaran, sebaiknya kita memilih binokular yang seperti apa? Perlu dipahami bahwa menggunakan binokular seperti menggunakan teleskop refraktor dengan dua mata sekaligus. Sehingga kita harus memperhatikan cara kerja dan kemampuan mata yang unik untuk tiap orang. Secara umum, untuk keperluan astronomi anda bisa memilih binokular dengan magnification 7x. Disarankan pula apabila anda memilih binokular dengan ukuran yang besar, misalnya 10×50, anda harus menggunakan tripod untuk mendapatkan gambar yang lebih stabil dan tajam.

Karena keunikan masing-masing mata tersebut kita harus memperhatikan spesifikasi yang lain. Yaitu exit pupil binokular, yaitu lebar berkas cahaya yang melewati eyepiece binokular. Exit pupil bisa dihitung dengan membagi besarnya aperture dengan perbesarannya. Misalnya, binokular dengan spesifikasi 7×50 memiliki exit pupil sekitar 7mm. Pada umumnya ukuran exit pupil mata manusia pada siang hari adalah 2 mm dan pupil akan membesar ketika menerima lebih sedikit cahaya. Untuk stargazing biasanya digunakan binokular dengan exit pupil sekitar 5mm. Tetapi akan lebih baik apabila exit pupil binokular disesuaikan dengan besarnya pupil mata kita. Sebagai informasi besar pupil mata manusia sangat bergantung pada umur. Secara umum besar pupil mata manusia dengan kondisi sedikit penerangan kurang lebih 7 mm, untuk orang yang berumur 30 tahun ke bawah. Dan sekitar 5 mm untuk 40 tahun ke atas. Apabila kita menggunakan binokular dengan exit pupil yang lebih besar dari ukuran besar pupil mata, cahaya yang datang tidak sepenuhnya dapat diterima oleh mata sehingga mengakibatkan gambar terlihat lebih redup.

Field of View (FOV) atau medan pandang adalah hal yang juga harus anda perhatikan. FOV ini biasanya dikenali dengan berapa derajat besarnya FOV. Secara umum semakin besar FOV berarti medan pandang semakin luas, tetapi perlu diketahui semakin besar perbesaran akan mengurangi besarnya FOV. Kebanyakan binokular memiliki FOV sekitar 6 deg sampai 7 deg.

Satu hal yang sangat penting pula adalah tipe prisma yang digunakan oleh binokular. Terdapat dua tipe prisma yang digunakan, yaitu porro dan roof. Berikut adalah ilustrasi jalannya cahaya dengan dua jenis prisma yang berbeda.












Untuk keperluan astronomi disarankan anda memilih binokular dengan porro prisma. Binokular dengan kualitas tinggi dibuat dari barium crown glass (BaK-4). Dan akan lebih sempurna apabila coating lensanya Fully multy-coated. Hati-hati jangan memilih binokular dengan coating lensa ruby coated, karena jenis coating lensa ini diperuntukan untuk keadaan yang terang.

Yang terakhir adalah kolimasi, kolimasi dalam pemilihan binokular ini berarti antara optik dan mekaniknya teralign dengan sempurna. Bagaimana cara mengenali binokular yang terkolimasi? Coba gunakan binokular yang akan dipilih dengan mengamati objek yang jauh, dekat, dan objek antara jarak dekat dan jauh. Apabila anda tidak dapat memfokuskan objek-objek tersebut berarti ada masalah kolimasi pada binokular tersebut. Kolimasi binokular juga bisa dilihat dengan cara menfokuskan binokular dengan menutup sebelah mata, apabila kita tidak bisa menfokuskan dengan cara ini berarti ada masalah dengan kolimasinya.

Mengenai harga binokular tentunya bervariasi bergantung spesifikasinya. Tapi tentu saja harga lebih bisa dijangkau dibandingkan dengan harga teleskop. Binokular kecil untuk astronomi harganya berkisar 25$, sedang untuk ukuran sedang bervariasi antara 50$ sampai 75$. Dan untuk ukuran besar harganya mulai dari harga 100$.

Sumber : universetoday.com, astronomy.com

Senin, 15 Juni 2009

SOME BLACK HOLES ARE PINK

A group of Australian astronomers have found that some black
holes are bright pink!

Black holes have captured the imagination of the public over the years
with some popular depictions in science fiction movies. They have such
intense gravity fields that they even suck in light. This is why they appear
black but Dr Paul Francis, a lecturer at the Australian National University,
together with Dr Rachel Webster and Dr Michael Drinkwater, from the
University of Melbourne's School of Physics have discovered that some
black holes are pink in colour.

The "Pink holes" were discovered using telescopes at Parkes and
Coonabarabran in the western plains of NSW between 1994 and 1998.
The work will be presented at the "Fresh Science" Conference in
Melbourne.

"These pink things were quite easy to find" said Dr Francis. "The hard
bit was proving that they are black holes. These black holes are more
than a billion light-years away, and are more than one hundred thousand
times fainter than the human eye can see. It took the combined power of four of Australia's best telescopes to identify what they were."

How could a black hole be pink? "We really don't have the foggiest idea"
said Dr Francis. "We're pretty certain that it isn't the black holes
themselves that are pink, the pink light is actually coming from gas just
outside the black hole. We think that these black holes live in the middle
of galaxies, and they are devouring anything that comes near them.
Possibly as the mangled remains of space matter, stars and gas clouds
swirl down the throat of the black holes, they emit an intense pink light."

It is well known that massive black holes devour stars and gas. Black
holes like this are called quasars, and were first discovered in the
1960s."Until now", Dr Francis said, "only blue quasars had been seen,
and it was believed that the debris swirling around black holes should
emit only blue light, not pink."

So what is different about these pink quasars? "We're don't really know"
said Dr Francis. "But we are beginning to suspect that the debris swirling
around the black holes is acting as a vast natural radio transmitter,
broadcasting intense pink light to the universe."

For further information contact Niall Byrne, Media Liaison, at
ScienceNOW! In Melbourne on 0417 131 977, email niall@byc.com.au,
or Dr Paul Francis, (02) 6249-2824 (w), (02) 6257-9263 (h) Photos and
background information will be available on the website from the day
of presentation on www.asnevents.net.au/sciencenow

Lunar Data Supports Idea That Collision Split Earth, Moon

Analysis of data from NASA's Lunar Prospector spacecraft has
confirmed that the Moon has a small core, supporting the theory
that the bulk of the Moon was ripped away from the early Earth when
an object the size of Mars collided with the Earth.

Scientists presented this result and other findings today in a series
of papers at the 30th Lunar and Planetary Science Conference in
Houston, TX. Their data show that the lunar core contains less than
four percent of the Moon's total mass, with the probable value being
two percent or slightly less. This is very small when compared with
the Earth, whose iron core contains approximately 30 percent of the
planet's mass.

"This is a critical finding in helping scientists determine how the Earth
and Moon formed," said Dr. Alan Binder of the Lunar Research Institute,
Tucson, AZ, principal investigator for Lunar Prospector.

Similarities in the mineral composition of the Earth and the Moon
indicate that they share a common origin. However, if they had simply
formed form the same cloud of rocks and dust, the Moon would have a
core similar in proportion to the Earth's. A third theory suggests that the
moon was captured fully intact by the Earth's gravity.

Based on information first gathered during the Apollo era, scientists
suggested that the Moon was formed when a Mars-sized body hit the
Earth during its earliest history. "This impact occurred after the Earth's
iron core had formed, ejecting rocky, iron-poor material from the outer
shell into orbit," Binder explained. "It was this material that collected to
form the Moon.

"Further analysis of Lunar Prospector data to refine the exact size
of the lunar core and the amounts of elements like gold, platinum and
iridium in lunar rocks -- all of which are concentrated with metallic iron
-- is required," Binder added. "This will do much to pin down for good if
the 'giant impact' model of the formation of the Moon is correct, or if the
Moon formed in a different manner."

The current data come from gravity measurements conducted by Dr. Alex
Konopliv of NASA's Jet Propulsion Laboratory, Pasadena, CA. His results indicate that the Moon's core radius is between 140 and 280 miles (220 and 450 kilometers). This result is consistent with independent magnetic data, evaluated by Dr. Lon Hood of the University of Arizona, Tucson, which suggest that the core radius is between 180 and 260 miles (300 and 425 km).

In other results from Lunar Prospector, Dr. Robert Lin of the University of California at Berkeley, Dr. Mario Acuna of NASA's Goddard Space Flight Center, Greenbelt, MD, and Hood also found that a broad section of the southern far-side of the Moon has large localized magnetic fields in its crust. These fields occur opposite the large Crisium, Serenitatis and Imbrium basins -- three of the "seas" that cover much of the Moon's near side. This result supports earlier evidence linking strong magnetized concentrations on one side of the Moon with young, large impact basins
on the other side.

Results of efforts to map the composition of the lunar crust have surpassed the expectations of the spectrometer team, led by Dr. William Feldman of the Department of Energy's Los Alamos National Laboratory in New Mexico. Data obtained are so good that the distribution of thorium has been mapped with a resolution of 36 miles (60 kilometers). At this amount of detail, scientists can detect individual deposits rich in thorium and related elements. Their current observations suggest that thorium was excavated by impacts of asteroids and comets, and then distributed around craters, rather than being deposited by volcanic activity.

Lunar Prospector conducted its primary mapping mission at an altitude
of 63 miles (100 kilometers) for almost one year after its arrival in lunar
orbit on Jan. 11, 1998. In December and January, the spacecraft's altitude was lowered to approximately 15 miles by 23 miles (24 kilometers by 37 kilometers). Analyses of data from the lower-altitude observations are expected to further improve scientific understanding of the origin, evolution and physical resources of the Moon.

The $63 million mission is managed by NASA's Ames Research Center, Moffett Field, CA, and was developed under NASA's Discovery Program
of lower-cost, highly focused small scientific spacecraft.

Further information about Lunar Prospector, its science data return,
and relevant charts and graphics can be found on the project website
at: http://lunar.arc.nasa.gov

The Cosmic Light No One Can Explain A puzzling body stumps astronomy's best minds

BY LEON JAROFF

It isn't visible to the naked eye, and when viewed through a large telescope
it looks very much like any of the ordinary cosmic bodies in its celestial
neighborhood. But this pinpoint of light is anything but ordinary. Spotted
more than three years ago, it seemed at first to be a garden-variety
star--but it wasn't. It might have turned out to be an unremarkable galaxy
or quasar--but it didn't. Frustrated in their attempts to learn its nature,
and even its distance from Earth, astronomers have begun to refer to the
mystery object as, well, the "mystery object."

Just what the enigmatic body is has been the subject of much buzz in
the astronomical community--and deservedly so. Astronomer S. George
Djorgovski and his team at the California Institute of Technology first
spotted the object in color photographs taken for an ongoing digitized
survey of the northern skies. In one of the images, they noticed what
seemed to be an oddly colored star in the constellation Serpens (the
snake).

Intrigued, the Caltech team turned a larger telescope on the object to
analyze its light. They were confident that the resulting spectrum, not
unlike the band of colors that appears when sunlight is passed through a
prism, would tell them a lot. "Once you have a star's spectrum," says
Djorgovski, "you can determine its temperature, its heavy elements and
how fast it's moving with respect to Earth."

Ordinarily, astronomers can take the measure of a star within hours after
obtaining its spectrum. But when the Caltech astronomers got their first
look at this object's spectrum, displayed in the form of an EKG-like graph
on a computer screen, they were shocked. "Our mouths fell open," says
Djorgovski. "I suspect that what we said was not printable. But the gist of
it was, 'What the heck is this?'"

What stunned the scientists was where the peaks and dips of the graph
fell. A trained astronomer can read a star's spectrum the way a forensic
scientist reads a fingerprint, spotting almost at a glance the presence of
an element like magnesium or carbon. But on this spectrum, something was drastically amiss. "It looks like somebody crumpled the spectrum,"
says Djorgovski. "It's not that we see things that we know about but are in
the wrong place. It's simply that we don't know what they are."

The spectrum has two large peaks that may or may not mark an ample
presence of an as yet unidentified element, and many small dips that
probably represent segments of the spectrum where light has been
absorbed by other elements--perhaps those in the object's outer
atmosphere or in gas clouds between the object and Earth. Bewildered,
the Caltech team looked for other answers. Maybe the object was a
supernova, an exploding star, which often projects what Djorgovski calls
a "weird-looking" spectrum. But the team observed the target a number
of times over several months and noted no change. That ruled out a supernova's light, which gradually fades after the initial explosion.

Some of the astronomers then suggested that the spectrum resembled
those of a particular category of quasars--fantastically bright and distant
objects powered by black holes. Only one or two of them, known as iron
broad-absorption quasars, have spectrums that bear a passing
resemblance to that of the Caltech object. Could it be that a plethora of
iron ions in the mystery object is distorting its spectrum?

"My personal guess," says Djorgovski. "is that we're dealing with a very
special, sub-sub-sub-category of quasar. There may be only one of them."
Or, he muses, his team may be looking at a quasar through a "very
special" line of sight, a line that passes through a strange cloud of gas
that accounts for its curious absorptions. But, he stresses, "I wouldn't
stake any money on either of these possibilities."

The Caltech team was reluctant to publish a report that would merely say,
in Djorgovski's words, "Gee, look what we've found," without offering a
viable explanation. So after three years of examining and re-examining the
spectrum and vainly searching through scientific literature, the team at last
decided to go semipublic.

At the meeting of the American Astronomical Society in Chicago this
spring, they showed their prize spectrum to other scientists and asked for
their opinion. No one had seen anything like it, and few would hazard a
guess about what message it might convey. Stymied at every turn,
Djorgovski is pinning his hopes on investigating the object's invisible
infrared emissions, which have wavelengths slightly longer than the red
light at one end of the visible spectrum. Within the next few weeks,
astronomers at the Keck Observatory in Hawaii will train a telescope
equipped with an experimental infrared spectrograph on the quarry. What
it captures could be revealing. "Our hope," says Djorgovski, "is that by
seeing the longer wavelengths on the spectrum, we might actually notice
a pattern that is familiar."

That insight might merely confirm that the Caltech astronomers have
found an oddball quasar. Or it could herald the discovery of an entirely
new and remarkable celestial object. (*)

Jumat, 22 Mei 2009

Mengembalikan Jati Diri Bangsa

Artikel ini ditulis untuk mengikuti kontes bertajuk Mengembalikan Jati Diri Bangsa yang diadakan oleh Beritajitu.com mohon dukungannya!!!
Mengembalikan Jati Diri Bangsa, sebuah kalimat sederhana yang dapat menyelamatkan sesuatu yang kompleks di negara kita. Jati Diri Bangsa merupakan komponen yang sangat penting dalam suatu Bangsa itu sendiri. Tanpa Jati Diri, Bangsa sehebat apapun tak akan lama lagi akan kehilangan "kehebatannya" itu. Tanda petik pada kata "kehebatan" mengartikan bahwa kehebatan itu hanya berupa kehebatan semu. Kehebatan suatu bangsa dapat menjadi nyata dengan cara Mengembalikan Jati Diri Bangsa itu sendiri.
Bangsa Indonesia, Bangsa yang "hebat". "hebat"? ya. Bisa dibilang Jati Diri Bangsa Indonesia belakangan ini mulai luntur. Banyak budaya Indonesia yang diklaim oleh negara lain. Misalnya, kesenian reog dari ponorogo yang jelas-jelas budaya Indonesia diklaim oleh Malaysia. Lagu "Rasa Sayang" juga dijadikan jingle dalam iklan semacam "visit indonesia"-nya Malaysia. Itu hanya sedikit bentuk "pencurian" Jati Diri Bangsa Indonesia.
Jika kita kehilangan Jati Diri Bangsa kita, kita tidak perlu "mencuri" Jati Diri Bangsa lain. Kita bisa melakukan sesuatu yang baru untuk mengembalikan Jati Diri Bangsa Indonesia. Misalnya dalam bidang Astronomi. Belakangan ini Indonesia berhasil meluncurkan roket buatan dalam negeri. Rencananya jika tidak keliru pada tahun 2011 Indonesia akan meluncurkan satelit sendiri. Kelihatannya itu hal biasa, namun siapa tahu di tahun 2020-an Bangsa kita berhasil mendaratkan manusia di Mars. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
Kembalikan Jati Diri Bangsa untuk Indonesia Tanah Air kita!

Selasa, 19 Mei 2009

Lift Luar Angkasa





























Lift Luar Angkasa (Bahasa Inggris: Space Elevator) adalah struktur yang didesain untuk mengirim bahan-bahan dari bumi ke luar angkasa atau bahkan membuat "jembatan" berbetuk elevator dari bumi ke bulan (bahkan ke planet lain). Banyak rancangan telah diusulkan.


Awalnya ada pada kisah fiksi ilmiah, konsep lift luar angkasa mulai menarik perhatian serius pada bidang akademik dan juga bidang industri luar angkasa sendiri. Lift Luar Angkasa didesain untuk mengirim bahan-bahan dari bumi ke luar angkasa. Jika jadi, keuntungannya luar biasa banyak. Lift ini akan menggantikan peran roket yang ribet, berbahaya dan mahal dalam mengirim bahan-bahan material. Manusia bisa dengan sangat nyaman pulang-balik ke luar angkasa dengan biaya murah, metode gampang dan bisa berulang-ulang dipakai tanpa resiko tinggi.

Menurut berita NASA sudah 2 kali melakukan usaha untuk membuatnya, namun gagal. Saat ini mereka sedang berusaha membuatnya untuk ketiga kalinya melalui proyek bernama "Space Elevator Challenge". Namun usaha itu berusaha untuk didahului oleh Jepang yang baru saja mengumumkan rencana anggaran USD 7,3 miliar (sekitar Rp 73 triliun) untuk mengembangkan proyek yang sama.





















Konsep lift ini sederhana: satelit pada orbit dihubungkan dengan kabel yang terhubung pada stasiun di daerah khatulistiwa bumi. Lift akan memutari kabel.














Animasi carbon nanotube berputar

Terdapat tantangan yang harus dilewati dalam pembuatan lift luar angkasa. Kabel harus terbuat dari bahan yang harus 180 kali lebih kuat dari pada baja dan bobotnya harus lebih ringan. Kabarnya Jepang akan menggunakan bahan "carbon nanotube" yang sudah cukup kuat, namun masih harus dikembangkan 4 kali lebih kuat lagi untuk dapat memenuhi kebutuhan space elevator ini.

Hebatnya carbon nanotube, menurut laporan Engadget, adalah material ini bersifat konduktif bisa mengalirkan listrik. Jadi kabel itu nantinya tidak hanya berperan sebagai pegangan untuk mengangkat lift, namun juga sekaligus sebagai kabel power/listrik. Artinya kebutuhan listrik dalam lift bisa dipenuhi sekalian. Antariksawan yang naik ke stasiun angkasa diperkirakan bisa memakan waktu beberapa hari hingga beberapa minggu, jadi pasokan listrik ke kabin lift pasti krusial.

Proyek ini sungguh gila, namun kalau memang bisa diwujudkan, saya yakin akan membawa banyak manfaat signifikan bagi usaha manusia untuk menaklukkan angkasa. Banyak orang yang percaya bahwa lift luar angkasa akan berhasil direalisasikan pada abad ini, abad ke-21.















http://madriyanto.blogspot.com/2008/09/lift-luar-angkasa-terwujud-segera.html






Kamis, 07 Mei 2009

Planet X Bukan Planet Nibiru

http://langitselatan.com/2008/06/24/planet-x-pada-kiamat-2012-bukan-planet-nibiru/

Bagian luar Tata Surya masih memiliki banyak planet-planet minor yang belum ditemukan. Sejak pencarian Planet X dimulai pada awal abad ke 20, kemungkinan akan adanya planet hipotetis yang mengorbit Matahari di balik Sabuk Kuiper telah membakar teori-teori Kiamat dan spekulasi bahwa Planet X sebenarnya merupakan saudara Matahari kita yang telah lama “hilang”. Tetapi, mengapa kita harus cemas duluan akan Planet X/Teori Kiamat ini? Planet X kan tidak lain hanya merupakan obyek hipotetis yang tidak diketahui?

Teori-teori ini didorong pula dengan adanya ramalan suku Maya akan kiamat dunia pada tahun 2012 (Mayan Prophecy) dan cerita mistis Bangsa Sumeria tentang Planet Nibiru, dan akhirnya kini memanas sebagai “ramalan kiamat” 21 Desember 2012. Namun, bukti-bukti astronomis yang digunakan untuk teori-teori ini benar-benar melenceng.

Pada 18 Juni kemarin, peneliti-peneliti Jepang mengumumkan berita bahwa pencarian teoretis mereka untuk sebuah massa besar di luar Tata Surya kita telah membuahkan hasil. Dari perhitungan mereka, mungkin saja terdapat sebuah planet yang sedikit lebih besar daripada sebuah objek Plutoid atau planet kerdil, tetapi tentu lebih kecil dari Bumi, yang mengorbit Matahari dengan jarak lebih dari 100 SA. Tetapi, sebelum kita terhanyut pada penemuan ini, planet ini bukan Nibiru, dan bukan pula bukti akan berakhirnya dunia ini pada 2012. Penemuan ini adalah penemuan baru dan merupakan perkembangan yang sangat menarik dalam pencarian planet-planet minor di balik Sabuk Kuiper.

Dalam simulasi teoretis, dua orang peneliti Jepang telah menyimpulkan bahwa bagian paling luar dari Tata Surya kita mungkin mengandung planet yang belum ditemukan. Patryk Lykawa dan Tadashi Mukai dari Universitas Kobe telah mempublikasikan paper mereka dalam Astrophysical Journal. Paper mereka menjelaskan tentang planet minor yang mereka yakini berinteraksi dengan Sabuk Kuiper yang misterius itu.

Kuiper Belt Objects (KBOs)

Sedna, salah satu objek di Sabuk Kuipert. Kredit : NASA
Sabuk Kuiper menempati wilayah yang sangat luas di Tata Surya kita, kira-kira 30-50 SA dari Matahari, dan mengandung sejumlah besar objek-objek batuan dan metalik. Objek terbesar yang diketahui adalah planet kerdil (Plutoid) Eris. Telah lama diketahui, Sabuk Kuiper memiliki karakteristik yang aneh, yang mungkin menandakan keberadaan sebuah benda (planet) besar yang mengorbit Matahari dibalik Sabuk Kuiper. Salah satu karakterikstik tersebut adalah yang disebut dengan “Kuiper Cliff” atau Jurang Kuiper yang terdapat pada jarak 50 SA. Ini merupakan akhir dari Sabuk Kuiper yang tiba-tiba, dan sangat sedikit objek Sabuk Kuiper yang telah dapat diamati di balik titik ini. Jurang ini tidak dapat dihubungkan terhadap resonansi orbital dengan planet-planet masif seperti Neptunus, dan tampaknya tidak terjadi kesalahan (error) pengamatan. Banyak ahli astronomi percaya bahwa akhir yang tiba-tiba dalam populasi Sabuk Kuiper tersebut dapat disebabkan oleh planet yang belum ditemukan, yang mungkin sebesar Bumi. Objek inilah yang diyakini Lykawka dan Mukai, dan telah mereka perhitungkan keberadaannya.

Para peneliti Jepang ini memprediksikan sebuah objek besar, yang massanya 30-70 % massa Bumi, mengorbit Matahari pada jarak 100-200 SA. Objek ini mungkin juga dapat membantu menjelaskan mengapa sebagian objek Sabuk Kuiper dan objek Trans-Neptunian (TNO) memiliki beberapa karakteristik orbital yang aneh, contohnya Sedna.

Objek-objek trans Neptunian. Kredit : NASA
Sejak ditemukannya Pluto pada tahun 1930, para astronom telah mencari objek lain yang lebih masif, yang dapat menjelaskan gangguan orbital yang diamati pada orbit Neptunus dan Uranus. Pencarian ini dikenal sebagai “Pencarian Planet X”, yang diartikan secara harfiah sebagai “pencarian planet yang belum teridentifikasi”. Pada tahun 1980an gangguan orbital ini dianggap sebagai kesalahan (error) pengamatan. Oleh karena itu, pencarian ilmiah akan Planet X dewasa ini adalah pencarian untuk objek Sabuk Kuiper yang besar, atau pencarian planet minor. Meskipun Planet X mungkin tidak akan sebesar massa Bumi, para peneliti masih akan tetap tertarik untuk mencari objek-objek Kuiper lain, yang mungkin seukuran Plutoid, mungkin juga sedikit lebih besar, tetapi tidak terlalu besar.

“The interesting thing for me is the suggestion of the kinds of very interesting objects that may yet await discovery in the outer solar system. We are still scratching the edges of that region of the solar system, and I expect many surprises await us with the future deeper surveys.” - Mark Sykes, Direktur Planetary Science Institute (PSI) di Arizona.

Planet X Tidaklah Menakutkan
Jadi, dari mana Nibiru ini berasal? Pada tahun 1976, sebuah buku kontroversial berjudul The Twelfth Planet atau Planet Kedua belas ditulis oleh Zecharian Sitchin. Sitchin telah menerjemahkan tulisan-tulisan kuno Sumeria yang berbentuk baji (bentuk tulisan yang diketahui paling kuno). Tulisan berumur 6.000 tahun ini mengungkapkan bahwa ras alien yang dikenal sebagai Anunnaki dari planet yang disebut Nibiru, mendarat di Bumi. Ringkas cerita, Anunnaki memodifikasi gen primata di Bumi untuk menciptakan homo sapiens sebagai budak mereka.

Ketika Anunnaki meninggalkan Bumi, mereka membiarkan kita memerintah Bumi ini hingga saatnya mereka kembali nanti. Semua ini mungkin tampak sedikit fantastis, dan mungkin juga sedikit terlalu detail jika mengingat semua ini merupakan terjemahan harfiah dari suatu tulisan kuno berusia 6.000 tahun. Pekerjaan Sitchin ini telah diabaikan oleh komunitas ilmiah sebagaimana metode interpretasinya dianggap imajinatif. Meskipun demikian, banyak juga yang mendengar Sitchin, dan meyakini bahwa Nibiru (dengan orbitnya yang sangat eksentrik dalam mengelilingi Matahari) akan kembali, mungkin pada tahun 2012 untuk menyebabkan semua kehancuran dan terror-teror di Bumi ini. Dari “penemuan” astronomis yang meragukan inilah hipotesis Kiamat 2012 Planet X didasarkan. Lalu, bagaimanakah Planet X dianggap sebagai perwujudan dari Nibiru?

Kemudian terdapat juga “penemuan katai coklat di luar Tata Surya kita” dari IRAS pada tahun 1984 dan “pengumuman NASA akan planet bermassa 4-8 massa Bumi yang sedang menuju Bumi” pada tahun 1933. Para pendukung hipotesis kiamat ini bergantung pada penemuan astronomis tersebut, sebagai bukti bahwa Nibiru sebenarnya adalah Planet X yang telah lama dicari para astronom selama abad ini. Tidak hanya itu, dengan memanipulasi fakta-fakta tentang penelitian-penelitian ilmiah, mereka “membuktikan” bahwa Nibiru sedang menuju kita (Bumi), dan pada tahun 2012, benda masif ini akan memasuki bagian dalam Tata Surya kita, menyebabkan gangguan gravitasi.

Dalam pendefinisian yang paling murni, Planet X adalah planet yang belum diketahui, yang mungkin secara teoretis mengorbit Matahari jauh di balik Sabuk Kuiper. Jika penemuan beberapa hari lalu memang akhirnya mengarah pada pengamatan sebuah planet atau Plutoid, maka hal ini akan menjadi penemuan luar biasa yang membantu kita memahami evolusi dan karakteristik misterius bagian luar Tata Surya kita.

Sumber : Universe Today

Tidak Ada Kiamat di Tahun 2012

http://langitselatan.com/2009/02/24/tidak-ada-kiamat-di-tahun-2012/

Hmm … sepertinya banyak juga ya penggemar kiamat 2012. Ada apa sebenarnya, sehingga manusia sangat tertarik dan percaya dengan mudah pada isu-isu seperti ini?

Katanya, dunia akan berakhir pada tanggal 21 Desember 2012! Runutan angka yang menarik yang membuat Anda langsung terperangah dan menggumam, “Ah benar juga … pasti bener nih beritanya”. Lantas, tanpa telaah lanjut, Anda pun berkata kiamat tinggal 3 tahun lagi. Atau kalau Anda tak percaya teori kiamat, Anda langsung berkomentar, “Cuma Tuhan yang tahu kapan kiamat”, “Ah kamu musyrik …”, atau “Itu info disebarkan oleh orang tak beragama”. Sekali lagi, semua informasi hanya ditelan tanpa ditelaah.




Piramida peninggalan suku Maya. kredit : whoyoucallingaskeptic.wordpress.com

Nah, karena dunia akan kiamat sebentar lagi, berhentilah merencanakan hidup, karier Anda, tak usah lagi berpikir untuk punya rumah, segeralah menikah sebelum kiamat, dan pastikan Anda bisa bersenang-senang menikmati hidup sebelum kiamat. Atau, segeralah bertobat. Jangan sampai saat kiamat Anda malah belum bertobat. Tiga tahun lagi lho!.

Kata sebagian orang, mungkin ini pembahasan yang aneh. Hampir setiap saat kita mendengar tentang berbagai teori kiamat … dan kenyataannya kita masih ada di sini. Belum ada satu teori pun yang kebenarannya terbukti. Tapi, kenapa 2012 begitu penting?

Katanya, kalender Maya akan berhenti tahun 2012, dan kemudian jadi semacam agama dan kepercayaan baru, mengalahkan kepercayaan yang ada di masyarakat. Mengabaikan semua alasan saintifik dan pada akhirnya membawa masyarakat pada kekhawatiran baru. Lupakan Nostradamus, Y2k, dan semua prediksi kiamat lainnya, karena sekali lagi menurut ramalan 2012, planet X akan kembali dan menghancurkan Bumi.

Ok … kita berhenti dulu di sini dan mari kita telaah setiap alasan yang muncul tentang kiamat 2012 ini. Dan bagi Anda para penggemar nubuat Kalender Maya, saya punya berita buruk untuk Anda semua. Tidak akan ada kiamat di tahun 2012 … dan ini alasannya, silakan disimak.

Kalender Maya

Kalender Maya

Apa itu kalender Maya? Ini merupakan kalender yang disusun oleh sebuah peradaban yang dikenal dengan nama Maya pada kisaran 250-900 M. Bukti kehadiran peradaban Suku Maya ini bisa dilihat dari sisa kerajaannya di hampir semua bagian selatan Meksiko, Guatemala, Belize, El Savador, dan sebagian Honduras.

Dari bukti-bukti sejarah, masyarakat suku Maya memang memiliki kemampuan menulis yang baik dan juga kemampuan untuk membangun kota dan perencanaan kota. Dalam hal membangun, Suku Maya terkenal dengan bangunan piramida dan berbagai bangunan besar lainnya. Tak hanya itu, dalam kebudayaan, peradaban suku Maya memberi pengaruh yang sangat besar pada kebudayaan Amerika Tengah. Pengaruh itu bukan hanya dalam hal peradaban namun juga dalam hal populasi pribumi di area tersebut. Sampai saat ini, sejumlah Suku Maya masih tetap ada dan meneruskan tradisi mereka yang telah berumur ribuan tahun itu.

Suku Maya dalam kehidupannya menggunakan beberapa kalender berbeda. Bagi mereka, waktu merupakan penghubung dengan lingkaran spiritual. Kalender memang digunakan untuk hal-hal praktis seperti untuk kehidupan sosial, pertanian, perdagangan dan berbagai keperluan administratif. Namun dipercaya ada elemen religi yang besar di dalamnya yang memberi pengaruh. Bagi suku Maya, setiap hari memiliki ruh pelindung yang berbeda sehingga setiap hari memiliki fungsi yang berbeda pula. Sangat berbeda dengan kehidupan modern dengan kalender Gregorian yang hanya menetapkan kalender sebagai waktu yang terkait dengan hal-hal administratif, kehidupan sosial dan keperluan ekonomi.

Kebanyakan kalender Maya memiliki rentang waktu pendek.

  • Kalender Tzolk’in berakhir dalam 260 hari
  • Kalender Haab’ memberi perkiraan 1 tahun Matahari yakni 365 hari.

Suku Maya kemudian menggabungkan kedua kalender ini membentuk “Calendar Round”, siklus yang akan berakhir setelah 52 Haab (sekitar 52 tahun atau kisaran panjangnya satu generasi). Di dalam “Calendar round” terdapat Trecena ( siklus 13 hari) dan Veintena (siklus 20 hari). Tampaknya, sistem siklus ini berlaku dengan mempertimbangkan jumlah hari dalam 52 tahun adalah 18980 hari.

Untuk bangsa Maya, sains dan agama adalah satu. Mereka membangun sistem matematika dan astronomi yang cukup impresif, terkait dengan kepercayaan mereka. Pencapaian dalam hal matematika bisa dilihat pada notasi posisi dan penggunaan angka nol. Dalam astronomi, mereka secara akurat menghitung tahun Matahari, melakukan kompilasi tabel posisi bulan dan Venus, serta memprediksi Gerhana Matahari. Suku Maya juga memiliki penanggalan untuk “siklus Venus” yang cukup akurat. Kalender Venus ini dibuat berdasarkan lokasi Venus di langit malam. Hal yang sama tampaknya juga dilakukan pada planet-planet lainnya.

Sistem “Calendar Round” ini memang sangat baik untuk mengingat hari kelahiran atau periode keagamaan. Namun, untuk merekam sejarah, kalender ini tak bisa dijadikan patokan karena tak dapat merekam kejadian yang lebih tua dari 52 tahun.

Akhir Perhitungan Panjang = Akhir Dunia?

Alam semesta menurut suku Maya. Kredit : edwardtbabinski.us

Karena tak bisa merekam kejadian sejarah yang lebih tua dari 52 tahun, Suku Maya punya solusi lain. Dengan metode yang cukup inovatif, mereka bisa memperluas jangkauan “Calendar Round” yang tadinya cuma 52 tahun itu.

Sampai di titik ini, kalender Maya akan tampak sangat kuno, bahkan bisa dikatakan dibuat hanya berdasarkan kepercayaan religi, siklus bulan, kalkulasi matematika dengan siklus atau unit 13 dan 20 sebagai dasar perhitungan disertai campuran kepercayaan mitologi. Satu-satunya prinsip kalender yang memiliki korelasi dengan kalender modern hanyalah Haab yang mengenali panjang tahun Matahari yakni 365 hari. Sebagai jawaban atas penanggalan yang lebih panjang, Suku Maya membuat sistem penanggalan “Long Count” atau “Perhitungan Panjang”, kalender yang akan berakhir setelah 5126 tahun.

Sistem penanggalan Maya untuk “Long Count” ini memang menarik, dan secara numerik dapat diprediksi dan bisa dengan akurat menunjuk pada penanggalan dalam sejarah. Penanggalan ini bergantung pada basik perhitungan dengan unit 20. Kalender modern saat ini menggunakan dasar perhitungan dengan unit 10.

Nah bagaimana perhitungannya?

Tahun dalam “Long Count” kalender Maya, dimulai dari 0.0.0.0.0. Tiap angka 0 merepresentasikan angka 0-19, dan setiap angka merepresentasikan perhitungan hari-hari suku Maya.

Untuk hari pertama, kalendernya akan seperti ini : 0.0.0.0.1 dan pada hari ke-19 akan menjadi 0.0.0.0.19. Jika mencapai angka 20, kalendernya akan jadi : 0.0.0.1.0. Perhitungan ini akan menunjukkan 0.0.1.0.0 untuk satu tahun dan 0.1.0.0.0 untuk kisaran 20 tahun dan 1.0.0.0.0 utuk kisaran 400 tahun. Maka, penanggalan 2.10.12.7.1 akan melambangkan penanggalan untuk hari ke-1 di bulan ke-7 dan tahun 1012.

Lantas, apa hubungannya dengan akhir dunia?

Suku Maya sangat terobsesi dengan waktu. Pemahaman dan prediksi berbagai siklus waktu akan memberi mereka kemampuan untuk mengadaptasinya dalam kehidupan di dunia. Menurut kosmologi bangsa Maya, dunia ini telah diciptakan 5 kali dan dihancurkan 4 kali. Dalam skala yang sementara, berbagai hari di dalam satu tahun dianggap cocok untuk aktivitas tertentu, sedangkan sebagian lainnya merupakan ketidakberuntungan.

Nah, menurut kepercayaan suku Maya, sesuatu yang buruk akan terjadi jika kalender “Long Count” berakhir. Berbagai pembagian dilakukan para ahli, namun karena suku Maya mendasarkan perhitungan numerik pada siklus 13 dan 20, maka bisa jadi hari terakhir kalender mereka adalah 13.0.0.0.0. Kapankah itu? Angka 13.0.0.0.0 merepresentasikan 5126 tahun dan “Long Count” ini berawal pada 0.0.0.0.0 yakni 11 Agustus 3114 SM menurut penanggalan Gregorian.

Nah, dengan demikian, kalender Maya akan berakhir 5126 tahun kemudian, yakni 21 Desember 2012. Inilah yang jadi dasar pemikiran tentang kiamat di tahun 2012.

Akhir Dunia

Ilustrasi tabrakan yang terjadi. Kredit : NASA

Sepertinya, saat sesuatu itu berakhir, termasuk ketika perhitungan kalender kuno berakhir, masyarakat cenderung berpikir pada kemungkinan ekstrem bahwa peradaban juga akan ikut berakhir. Entah dengan cara apa dunia akan berakhir. Berbagai argumentasi bermunculan, antara lain Bumi akan ditabrak oleh sebuah planet, asteroid, atau entah bencana apalagi. Intinya, jika kalender ini berakhir maka Bumi akan tersapu dan hancur.

Ahli arkeologi dan juga orang-orang yang keahliannya pada hal mitologi percaya bahwa akan ada era pencerahan yang muncul jika 13.0.0.0.0 tiba. Dan ini juga tidak berarti akan kiamat atau apa pun. Tidak ada bukti yang menunjukkan dunia akan berakhir. Bahkan, jika memang ada, maka suku Maya bisa dikatakan berhasil memprediksikan sebuah keajaiban religius.

Mitos terus berkembang, bahkan film Indiana Jones and the Kingdom of Crystal Skull sepertinya dibuat berdasarkan mitos suku Maya. Dikatakan, 13 tengkorak kristal akan dapat menyelamatkan kemanusiaan dari kiamat. Mitos di film ini mengatakan jika ke-13 tengkorak kuno ini tidak diletakkan bersama pada waktu tertentu, Bumi akan bergeser dari sumbunya. Menarik memang untuk sebuah film, bisa meraih penontonnya yang mudah percaya pada mitos ….

Tak hanya itu. Mitos yang berkembang mengatakan bahwa Bumi akan dihancurkan oleh tabrakan Planet X, tabrakan meteorit, dihisap lubang hitam, dibunuh oleh flare Matahari, Bumi hancur oleh ledakan sinar gamma dari sistem bintang, datangnya zaman es yang lebih cepat dan pergeseran kutub magnet. Bahkan setiap prediksi disertai bukti-buktinya sendiri. Dan pada akhirnya begitu banyak pengikut kiamat 2012 ini. Sayangnya tak satu pun argumentasi yang diberikan itu bisa dibuktikan kebenarannya.

Fakta yang ada menyatakan Nubuat Kiamat Suku Maya murni berdasarkan kalender yang memang tidak didesain untuk menghitung penanggalan setelah 2012. Hal ini disebabkan karena suku Maya mendasarkan perhitungan pada siklus 13 dan 20.

Arkeo-astronom Maya bahkan masih memperdebatkan masalah kalender “Long Count” ini. Pertanyaannya, apakah kalender ini akan kembali ke 0.0.0.0.0 setelah 13.0.0.0.0 atau akan terus berlanjut sampai 20.0.0.0.0 (sekitar 8000M) dan kemudian kembali ke 0.0.0.0.0?

Mengutip kata-kata Karl Kruszelnicki dalam “Great Moments in Science“:

“ … ketika Kalender mengakhiri siklusnya, ia akan berputar kembali ke siklus berikutnya. Dalam masyarakat modern, setiap tanggal 31 Desember tidak diakhiri dengan akhir dunia, namun dilanjutkan oleh siklus berikut yakni 1 Januari. Karena itu, 13.0.0.0.0 dalam kalender Maya akan diikuti oleh 0.0.0.0.1 atau 22 desember 2012, yang hanya menyisakan beberapa hari untuk berbelanja keperluan Natal.”

Siklus kalender Maya boleh berakhir, namun siklus baru akan kembali berulang … dan membawa hari baru bagi penghuni Bumi.

Sumber : Universe Today

Dawn, Perjalanan Menuju Masa Lalu


















Tanggal 777, sebuah misi untuk menembus masa lalu rencananya akan diluncurkan. Namun sayangnya tanggal 7 Juli yang seharusnya merupakan titik awal perjalanan Dawn akhirnya harus ditunda. Dalam press release NASA, Dawn dijadwalkan kembali untuk diluncurkan pada bulan September 2007. Misi Dawn akan menjelajah ke masa lebih dari 4,5 miliar tahun yang lalu Masa di saat Tata Surya pertama kali terbentuk. Dalam perjalanan ini Dawn tidak akan kembali ke masa lalu melainkan pergi menjumpai asteroid, obyek yang berada di antara Mars dan Jupiter.

Target utama misi Dawn adalah asteroid Vesta dan planet katai Ceres yang menempati Sabuk Asteroid bersama ribuan benda kecil lainnya atau yang kita kenal sebagai asteroid. Di daerah ini akan dijumpai ribuan asteroid yang terjebak diantara peperangan tarik menarik antara Matahari dan Jupiter. Dan di area ini angka tabrakan antar asteroid cukup tinggi. Namun demikian Ceres dan Vesta merupakan dua diantara asteroid yang masih tetap utuh sejak terbentuk sampai saat ini. Tahun 2006, bersama dengan resolusi IAU mengenai definisi planet, Ceres tidak lagi dikategorikan sebagai asteroid, melainkan masuk dalam kelas planet katai bersama Pluto dan Eris.

Mengapa Asteroid Vesta dan Ceres ?
Asteroid terbentuk bersamaan dengan terbentuknya planet batuan seperti Merkurius, Venus, Bumi dan Mars. Namun dalam proses pertumbuhan planet-planet di Tata Surya, ada planet yang tidak sempat bertumbuh karena pengaruh gravitasi Jupiter. Cikal bakal planet inilah yang kemudian kita kenal sebagai asteroid. Karena itu, diperkirakan sampai saat ini asteroid masih menyimpan materi-materi disaat awal pembentukannya. Hal inilah yang akan diungkap Dawn agar kita bisa mengetahui bagaimana kondisi awal Tata Surya beserta proses awal pembentukannya.

Di dalam proses pembentukan Tata Surya, semakin jauh dari Matahari maka obyek yang terbentuk akan semakin dingin. Hal inilah yang menyebabkan planet terrestrial terbentuk di dekat Matahari dan obyek es terbentuk di daerah yang jauh atau daerah luar Tata Surya. Lebih jauh lagi, bukti-bukti menunjukan, setiap obyek memiliki karakteristik yang berbeda seharusnya memiliki jalur evolusi yang berbeda. Karena itu diharapkan dengan meneliti dua obyek yang sangat berbeda karakteristiknya, dapat mengungkap sebagian misteri pembentukan planet, termasuk proses yang mendominasinya.

Dawn, dalam misinya yang hampir satu windu ini akan menyelidiki Vesta dan Ceres dua asteroid yang sangat berbeda karakternya dan diyakini terbentuk lewat proses akresi di awal sejarah pembentukan Tata Surya. Diperkirakan proses hidrologi di Ceres masih aktif, dan memicu terjadinya musim dingin yang menutupi daerah kutub Ceres dengan es. Ceres juga diduga memiliki atmosfer tipis, yang membedakannya dari asteroid lainnya. Lain Ceres, lain pula Vesta. Vesta diduga memiliki batuan yang magnetnya lebih kuat dibanding di Mars. Hal ini memicu keingintahuan bagaimana dan kapan kondisi dinamik tersebut muncul. Permukaan Vesta lebih kering ditandai oleh pola permukannya yang beragam dari aliran lava padat sampai dengan kawah yang dalam dekat kutub selatannya.

Dari karakteristik keduanya, Vesta menunjukkan karakterstik yang mirip dengan planet dalam (inner planet), sementara Ceres menunjukkan kemiripannya dengan satelit es dari planet-planet luar (outer planet). Mempelajari kedua obyek ini diharapkan bisa memberi pengetahuan mengenai transisi planet batuan ke area luar Tata Surya yang dingin.

Secara umum, ada tiga hal yang menjadi tujuan Dawn yakni pertama, menangkap momen awal asal usul Tata Surya sehingga kita bisa memahami kondisi pembentukannya. Yang kedua, Dawn akan membantu menentukan cirri-ciri batuan yang membentuk planet terrestrial untuk membantu kita memahami pembentukan planet-planet batuan, Dan yang terakhir adalah mempelajari pembentukan dan evolusi dua obyek yang memiliki jejak evolusi berbeda, sehingga bisa dipahami apa yang mengontrol terjadinya evolusi. Dawn akan menyelesaikan misinya dalam jangka waktu 8 tahun, dimulai dari peluncurannya hari ini pada tangal 7 Juli 2007 sampai dengan Juli 2015. Dawn akan tiba di Vesta bulan Oktober 2011, dan tiba di Ceres bulan Februari 2015.
Sama seperti misi lainnya, Dawn merupakan penjejak sebelum melangkah lebih jauh lagi dalam menyingkap setiap misteri dalam alam semesta.

Mungkinkah Kehidupan Bumi berasal dari Ceres

Mencari kehidupan lain di luar Bumi memang jadi impian banyak orang. Bisa jadi kehidupan itu ada di salah satu sudut alam semesta namun bisa juga kehidupan itu muncul di Tata Surya. Di dalam Tata Surya, pencarian memang difokuskan di Mars, atau satelit es seperti Europa. Namun di luar sana, ada sebuah tempat yang bisa jadi merupakan lokasi dimana kehidupan itu ada.

Ceres: Pilihan Yang Berbeda

Citra Ceres. Krdit : NASA, ESA, J. Parker (Southwest Research Institute), P. Thomas (Cornell University), dan L. McFadden (University of Maryland, College Park).

Dalam pertemuan International Society for the Study of the Origin of Life di Florence, Italia, Joop Houtkooper dari University of Giessen mengajukan sebuah teori kalau kehidupan muncul di salah satu objek di sabuk asteroid, yakni Ceres. Saat ditemukan pada tahun 1801, Ceres memang diperkirakan sebagai planet, namun kemudian diketahui kalau ia merupakan asteroid. Dan dengan definisi baru dari planet, Ceres justru dikategorikan sebagai planet katai bersama Pluto, Eris dan Sedna. Pertanyaannya apakah mungkin ada kehidupan disana? Mungkinkah ada organisme extraterrestrial disana?

Ide ini muncul ketika Joop mendengar presentasi tentang satelit di Tata Surya yang memiliki potongan besar es, yang sebagian besar di antaranya berada dalam kondisi cair. Bahkan total volume air tersebut 40% lebih besar dari seluruh lautan di Bumi. Ini mengingatkan Joop pada teori terbentuknya kehidupan. Organisme pertama kali bertumbuh dan berkembang di lubang hidrotermal, yang berada di dasar lautan dan memuntahkan senyawa kimia panas. Kebanyakan objek es di Tata Surya memiliki inti batuan, sehingga kemungkinan mereka memiliki lubang hidrotermal. Dengan demikian jika kehidupan itu memang ada dimana-mana dan tidak unik di Bumi saja maka bisa jadi di objek es inilah mereka memulai kehidupan itu.

Bukti-bukti

Lapisan yang ada di Ceres diperkirakan bisa mendukung kehidupan. kredit : NASA, ESA, and A. Feild (STScI)

Di awal sejarah Tata Surya, ada sebuah periode yang kita kenal sebagai ‘periode akhir tabrakan besar’. Ini adalah saat dimana tabrakan asteroid merupakan kejadian umum. Nah jika memang ada kehidupan sebelum zaman itu, maka tentunya tumbukan asteroid akan menghancurkan semuanya. Dan kehidupan harus kembali memulai prosesnya dari awal, setelah debu kosmik dibersihkan dari bagian dalam Tata Surya. Yang menarik, bukti yang ada menunjukan kalau Ceres tidak mengalami serangan asteroid bertubi-tubi selama era tabrakan besar tersebut. Seandainya tabrakan itu terjadi, Ceres akan kehilangan selubung air untuk selamanya karena pada saat itu gaya gravitasinya terlalu lemah untuk menangkap kembali selubung air tersebut. Inilah yang sepertinya terjadi pada asteroid Vesta, yang memiliki kawah tabrakan sangat besar di tubuhnya dan tidak ada air lagi disana.

Bukti tak tersentuhnya Ceres selama periode tabrakan besar memberi kemungkinan keberadaan lautan dimana kehidupan bisa saja muncul di awal sejarah Tata Surya. Fakta ini membawa kita pada sebuah hipotesa menarik. Jika kehidupan di Bumi dihabiskan oleh tabrakan kolosal sedangkan Ceres yang “memiliki kehidupan” selamat, bisa jadi Cereslah yang menanamkan kehidupan di Bumi melalui pecahan batuan yang lepas dan menabrak Bumi. Apakah pada akhirnya kehidupan di Bumi termasuk manusia berasal dari Ceres?

Jika melihat pada planet lain yang memiliki lautan, kita bisa membandingkannya dengan Venus. Di awal sejarah Tata Surya, diperkirakan Venus memiliki lautan, namun massa planet yang besar juga berarti dibutuhkan gaya yang besar untuk bisa melepaskan sekeping kerak planetnya dan mengarahkannya ke Bumi. Objek lebih kecil seperti Ceres memiliki kecepatan lepas yang rendah sehingga jauh lebih mudah bagi kepingannya memisahkan diri. Dari kandidat yang diperhitungkan (planet, asteroid, satelit), Ceres merupakan salah satu kandidat terbaik untuk melepaskan kepingannya menuju Bumi tanpa diinterupsi objek lainnya.

Kehidupan di Ceres

Perbandingan Bumi - Bulan - Ceres. Kredit : astrobilogy.net

Kalau di Ceres memang ada kehidupan, bisa jadi saat ini ada organisme di sana. Kemungkinan terbesar, kehidupan di Ceres berada di lautan. Untuk kehidupan di permukaan, jauh lebih sulit untuk ditemukan namun ada kemungkinan kalau di permukaan Ceres kehidupan bisa tumbuh juga. Diperkirakan kehidupan yang ada di Ceres basisnya adalah hidrogen peroxide sehingga bisa bertahan pada temperatur rendah. Namun memang belum dipastikan apakan hidrogen peroxide ada di Ceres.

Pemikiran bahwa kehidupan di Bumi ini ditanamkan dari Ceres dan masih ada bentuk kehidupannya di sana memang menarik. Namun sebelum semua itu dibuktikan, pemikiran ini hanyalah sebuah fiksi-sains bukan sebuah fakta. Memang tak gampang untuk membuktikan semua ini. Ceres merupakan sebuah dunia yang jauh dan sangat kecil. Citra terbaik yang dihasilkan saat ini masih belum bisa memberikan banyak detil, hanya beberapa kondisi permukaan. Sisanya masih misteri. Analisis spektrum menunjukkan keberadaan mineral tanah liat /lempung, dan Ceres sendiri merupakan dunia yang pipih. Ceres sampai saat ini masih jadi planet katai yang menyimpan banyak misteri.

Tapi sepertinya misteri itu tak akan terus tersimpan, karena misi DAWN milik NASA akan menjejak Ceres di tahun 2015. Saat ia tiba, ia akan menyingkap setiap misteri yang ada di Ceres. DAWN diperkirakan akan mengambil citra geysers dan erupsi air di permukaan. Pemandangan jarak dekat inilah yang kelak akan menunjukan apakah memang benar ada indikasi untuk tumbuhnya kehidupan disana.

Sumber : astrobiologi.net

Rabu, 06 Mei 2009

Bagaimana membuktikan bahwa Bumi mengelilingi Matahari, dan bukan sebaliknya?

Pada awal perkembangan sains, orang-orang seperti Copernicus, Kepler, Galileo & Newton berpendapat bahwa alangkah lebih baik (untuk menjelaskan), lebih mudah (secara matematika) & lebih elegan (secara filosofis) bahwa Matahari berada di pusat, sementara Bumi & planet-planet berputar mengelilingi Matahari. Semua punya penjelasan yang memuaskan, secara teori untuk mengatakan hal itu.

Sampai sekarang, pelajaran SMU fisika pun memberikan penjelasan yang jelas & memuaskan, bahwa memang demikian ada-nya. Massa matahari yang jauh lebih besar daripada planet-planet membuat planet-planet harus tunduk pada ikatan gravitasi Matahari, sehingga planet-planet tersebut bergerak mengitari Matahari sebagai pusat. Demikian dari hukum Gravitasi Newton.

Perumusan matematika-nya secara gamblang dan jelas dijelaskan oleh perumusan Kepler, hanya karena Matahari yang menjadi pusat sistem.

Kalau memang begitu ada-nya dan tidak percaya, bagaimana membuktikannya? Gampang, terbang saja jauh-jauh dari sistem tata surya ke arah kutub, dan lihatlah bagaimana Bumi beserta planet-planet bergerak mengitari Matahari. Tentu saja ini adalah pernyataan yang bersikap humor. Tapi ini memang menjadi pertanyaan penting, bagaimana membuktikannya?

Bapak-bapak yang telah disebutkan tadi, tentu saja mempunyai pendapat yang berlaku sebagai hipotesa, dan harus bisa dibuktikan melalui pembuktian yang teramati/eksperimentasi. Apabila eksperimen berkesesuaian dengan hipotesa, maka hipotesa diterima dan itu menjadi teori. Bukankah demikian?

Baik, sekarang bagaimana membuktikannya? Satu-satu-nya cara membuktikan fenomena langit adalah melalui ilmu astronomi, yaitu ketika pengamatan dilakukan pada benda-benda langit lalu memberikan penjelasan ilmiah tentang apa yang sebenar-nya terjadi disana.

Tentu tidaklah mudah memberikan bukti yang langsung bisa menjelaskan secara cespleng bahwa Bumi berputar mengitari Matahari, bukankah lebih mudah mengatakan kebalikannya? Tapi seperti yang telah disampaikan, itu akan menjadi tidak baik, tidak mudah dan tidak elegan untuk menyatakan demikian. Ternyata dari pengamatan astronomi menunjukkan bahwa memang Bumi yang mengitari Matahari. Tidak percaya?

Bukti pertama, adalah yang ditemukan oleh James Bradley (1725). Pak Bradley menemukan adanya aberasi bintang.

Apa itu aberasi bintang? Bayangkan kita sedang berdiri ditengah-tengah hujan, dan air hujan jatuh tepat vertikal/tegak lurus kepala kita. Kalau kita menggunakan payung, maka muka & belakang kepala kita tidak akan terciprat air bukan? Kemudian kita mulai berjalan ke depan, perlahan-lahan & semakin cepat berjalan, maka seolah-olah air hujan yang tadi jatuh tadi, malah membelok dan menciprati muka kita. Untuk menghindari-nya maka kita cenderung mencondongkan payung ke muka. Sebetulnya air hujan itu tetap jatuh tegak lurus, tetapi karena kita bergerak relatif ke depan, maka efek yang terjadi adalah seolah-olah membelok dan menciprat ke muka kita.

Demikian juga dengan fenomena aberasi bintang, sebetulnya posisi bintang selalu tetap pada suatu titik di langit, tetapi dari pengamatan astronomi, ditemukan bahwa posisi bintang mengalami pergeseran dari titik awalnya, pergeseran-nya tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk menunjukkan bawha memang sebenar-nya lah bumi yang bergerak.

Mari kita tinjau Gb.1.


















Aberasi terjadi jika pengamat adalah orang yang berdiri ditengah hujan, dan arah cahaya bintang adalah arah jatuhnya air hujan. Kemudian pengamat bergerak tegak ke muka, tegak lurus arah jatuhnya hujan. S menyatakan posisi bintang, E posisi pengamat di Bumi. Arah sebenarnya bintang relatif terhadap pengamat adalah ES, jaraknya tergantung pada laju cahaya. Kemudian Bumi BERGERAK pada arah EE’ dengan arah garis merepresentasikan lajunya. Ternyata pengamatan menunjukkan bahwa bintang berada pada garis ES’ alih-alih ES, dengan SS’ paralel & sama dengan EE’. Maka posisi tampak binang bergeser dari posisi sebenarnya dengan sudut yang dibentuk antara SES’.Jika memang Bumi tidak bergerak, maka untuk setiap waktu, sudut SES’ adalah 0, tetapi ternyata sudut SES’ tidak nol. Ini adalah bukti yang pertama yang menyatakan bahwa memang Bumi bergerak.

Bukti kedua adalah paralaks bintang. Bukti ini diukur pertama kali oleh Bessel (1838). Paralaks bisa terjadi jika posisi suatu bintang yang jauh, seolah-olah tampak ‘bergerak’ terhadap suatu bintang yang lebih dekat. (Gb.2). Fenomena ini hanya bisa terjadi, karena adanya perubahan posisi dari Bintang akibat pergerakan Bumi terhadap Matahari. Perubahan posisi ini membentuk sudut p, jika kita ambil posisi ujung-ujung saat Bumi mengitari Matahari. Sudut paralaks dinyatakan dengan (p), merupakan setengah pergeseran paralaktik bilamana bintang diamati dari dua posisi paling ekstrim.




















Bagaimana kita bisa menjelaskan fenomena ini? Ini hanya bisa dijelaskan jika Bumi mengitari Matahari, dan bukan kebalikannya.Bukti ketiga adalah adanya efek Doppler.

Sebagaimana yang telah diperkenalkan oleh Newton, bahwa ternyata cahaya bisa dipecah menjadi komponen mejikuhibiniu, maka pengetahuan tentang cahaya bintang menjadi sumber informasi yang sahih tentang bagaimana sidik jari bintang (baca tulisan saya tentang ‘fingerprint of the star’) . Ternyata pengamatan-pengamatan astronomi menunjukkan bahwa banyak perilaku bintang menunjukkan banyak obyek-obyek langit mempunyai sidik jari yang tidak berada pada tempat-nya. Bagaimana mungkin? Penjelasannya diberikan oleh Bpk. Doppler (1842), bahwa jika suatu sumber informasi ‘bergerak’ (informasi ini bisa suara, atau sumber optis), maka terjadi ‘perubahan’ informasi. Kenapa bergeraknya harus tanda petik? Ini bisa terjadi karena pergerakannya dalah pergerakan relatif, apakah karena pengamatnya yang bergerak? Atau sumber-nya yang bergerak?

Demikian pada sumber cahaya, jika sumber cahaya mendekat maka gelombang cahaya yang teramati menjadi lebih biru, kebalikannya akan menjadi lebih merah. Ketika Bumi bergerak mendekati bintang, maka bintang menjadi lebih biru, dan ketika menjauhi menjadi lebih merah.

Disuatu ketika, pengamatan bintang menunjukkan adanya pergeseran merah, tetapi di saat yang lain, bintang tersebut mengalami pergeseran Biru. Jadi bagaimana menjelaskannya? Ini menjadi bukti yang tidak bisa dibantah, bahwa ternyata Bumi bergerak (bolak-balik - karena mengitari Matahari), mempunyai kecepatan, relatif terhadap bintang dan tidak diam saja.

Dengan demikian ada tiga bukti yang mendukung bahwa memang Bumi bergerak mengitari matahari, dari aberasi (perubahan kecil pada posisi bintang karena laju Bumi), paralaks (perubahan posisi bintang karena perubahan posisi Bumi) dan efek Doppler (perubahan warna bintang karena laju Bumi).

Tentu saja bukti-bukti ini adalah bukti-bukti ILMIAH, dimana semua pemaknaan, pemahaman dan perumusannya mempergunakan semua kaidah-kaidah ilmiah, masuk akal dan ber-bobot kebenaran ilmiah. Apakah memang demikian adanya? Seperti yang ungkapkan, sampai detik ini belum ada teknologi yang bisa membuat kita bisa terbang jauh-jauh ke luar angkasa, sedemikian jauhnya sehingga bisa melihat memang begitulah yang sebenarnya. Tetapi, pembuktian metode ilmiah selama ini cukup sahih untuk menjawab banyak ketidak-pahaman manusia tentang posisi-nya di alam. Dan bukti-bukti yang telah disebutkan tersebut cukup untuk menjadi landasan untuk menjawab bahwa memang Bumi mengitari Matahari; dari pengetahuan Bumi mengitari Matahari, banyak hal-hal yang telah diungkap tentang alam semesta ini, sekaligus menjadi landasan untuk mencari jawab atas banyak hal yang belum bisa dijawab pada saat ini.

http://simplyvie.wordpress.com/profile/ benarkah bumi mengelilingi matahari

Asteroid Yang Melintasi Afrika Timur Bukanlah Ancaman

http://langitselatan.com/2008/10/07/asteroid-yang-melintasi-afrika-timur-bukanlah-ancaman/










Asteroid yang melintasi Afrika Timur. Kredit : CfA/ NASA



Sebuah asteroid kecil yang baru saja ditemukan beberapa jam lalu di Observatorium Arizona, akan memasuki atmosfer Bumi pada pukul 2.46 UT dini hari atau pukul 7.46 bbwi pagi tadi. Tidak akan ada bahaya apapun karena asteroid tersebut tidak akan menyentuh tanah alias tidak akan jatuh menabrak bumi.

Asteroid yang lewat tersebut memiliki diameter 1-5 meter dan akan terbakar di lapisan atmosfer Bumi, jauh di atas ketinggian pesawat terbang. Hasilnya, akan terlihat sebuah bola api yang sangat indah. Menurut Dr. Timothy Spahr, objek tersebut bukanlah ancaman.

Saat meteorit (asteroid kecil) memasuki atmosfer, ia akan menekan udara yang ada di depannya. Penekanan tersebut akan menyebabkan terjadinya pemanasan pada udara yang kemudian juga memanaskan objek itu sendiri, sehingga objek akan bersinar dan mengalami penguapan. Saat si ojek itu mulai bersinar, saat itulah ia disebut meteor.

Meteor seperti ini biasanya berupa objek berukuran butiran pasir, namun dalam perjalanannya melintasi Bumi ia akan menarik perhatian banyak orang.

Nah si meteor yang pagi tadi melintas itu, diperkirakan tampak di area Afrika Timur sebagi sebuah bola api yang sangat terang bergerak cepat melintasi angkasa dari timur laut menuju barat daya. Berdasarkan perhitungan objek tersebut bergerak di atas Sudan bagian utara.

Sumber : CfA

NEA yang (Konon Katanya) Mengancam Kehidupan di Bumi

http://langitselatan.com/2008/10/06/nea-yang-konon-katanya-mengancam-kehidupan-di-bumi/

Masih ingat karya Hollywood yang menggugah minat kita dulu? Deep Impact dan Armageddon, dua film sci-fi ini membuka mata kita kalau sesuatu di luar Bumi mengancam kehidupan umat manusia (lupakan perang saudara, invasi militer, wabah penyakit, bencana alam sekelas tsunami yang melanda Aceh!). Asteroid sebesar 1 km digambarkan bisa menyebabkan kerusakan sedemikian parahnya. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau planet kecil menubruk bumi? Siapkah kita menghadapinya?













Mengenal NEA


Saat asteroid saling bertabrakan, sebagian terlempar dari Sabuk Asteroid (terletak di antara orbit Mars dan Jupiter) dan masuk ke wilayah Tata Surya bagian dalam Sisanya diganggu gravitasi Jupiter. Objek-objek ini melintasi orbit Mars dan Bumi, kadang-kadang malah menubruk planet tersebut.

Asteroid-asteroid yang mengembara sampai sejauh 1,3 AU (195 juta km) dari Matahari, menembus orbit Mars, disebut Near Earth Asteroid (NEA). Sampai saat ini sudah diketahui lebih dari 250 NEA dan dikelompokkan dalam tiga kelompok. Pertama, asteroid-asteroid Amor. Orbitnya melintasi orbit Mars tapi tidak melintasi orbit Bumi. Contoh Asteroid kelas ini adalah 433 Eros, NEA terbesar kedua dan pernah dikunjungi kendaraan luar angkasa NEAR (Near Earth Asteroid Randevouz). Kelompok kedua adalah asteroid-asteroid Apollo, yang melintasi orbit Bumi dan periode orbitalnya (waktu yang dibutuhkan untuk mengelilingi Matahari sebanyak 1 kali) lebih dari satu tahun. Contoh kelompok ini adalah 1620 Geographos. Ketiga, asteroid-asteroid Aten. Seperti Apollo yang melintasi orbit Bumi, hanya saja periode orbitalnya lebih pendek. 2340 Hathor termasuk kelompok asteroid ini.

NEA juga bisa berasal dari sisa-sisa komet yang sudah mati. Orbit NEA dipengaruhi oleh gravitasi Matahari atau planet atau tumbukan dengan benda-benda lain. Kira-kira 40 % NEA merupakan pecahan-pecahan komet yang terperangkap dan sisanya berasal dari Sabuk Asteroid.

Diperkirakan ada 100 asteroid Aten, 700 asteroid Apollo, dan 1000 asteroid Amor yang berdiamter lebih dari 1 km. Karena melintasi atau lewat dekat sekali dengan orbit Bumi, serempetan atau tumbukan bisa saja terjadi. Sebenarnya kejadian ini bukan hal yang tidak biasa mengingat…


Tabrakan-tabrakan Itu …

Kawah Meteorit Barringer, Arizona, terbentuk saat meteorit dengan berat 300.000 ton menghantam Bumi 50.000 tahun lalu. Kreit : APOD/ Stefan Seip (Astro Meeting) Kawah Meteorit Barringer, Arizona, terbentuk saat meteorit dengan berat 300.000 ton menghantam Bumi 50.000 tahun lalu. Kreit : APOD/ Stefan Seip (Astro Meeting)
Pada tanggal 30 Juni 1908 ledakan besar terjadi di Tunguska, Siberia. Penyebabnya adalah asteroid berdiameter antara 40-100 km, lumayan ‘kecil’ untuk bisa dideteksi bahkan dengan teleskop ground-based modern yang ada di bumi sekarang ini. Benda luar angksa tersebut meledak pada ketinggian 5-8 km, energinya sekitar 20-50 juta ton TNT, lebih besar dari bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Tabrakan ini menghancurkan lebih dari 0,5 ha hutan di wilayah jatuhnya asteroid.

Yang tidak kalah spektakuler adalah asteroid sebesar rumah yang jatuh 50000 tahun yang lalu di utara Arizona. Hasilnya adalah kawah sedalam 200 m dan berdiameter 1250 m. Masih ada lebih dari 150 kawah akibat tabarakan dengan asteroid yang ditemukan di permukaan Bumi dan lebih banyak lagi yang tersembunyi di dasar laut.

Punahnya dinosaurus diduga berkaitan dengan jatuhnya asteroid berdiameter sekitar 10 km yang jatuh ke Bumi 65 juta tahun yang lalu di daerah Yucatan Meksiko membentuk Kawah Chicxulub (Ekor Setan) berdiameter antara 200-300 km sedalam sekitar 3 km yang sebagian menjadi Teluk Meksiko. Diperkirakan kepunahan masal seperti itu juga pernah terjadi sekitar 250 tahun yang lalu juga akibat asteroid berdiameter antara 6-12 km (dijuluki Great Dying). Dampak yang ditimbulkan saat itu jauh lebih parah dibandingkan saat musnahnya dinosaurus.

Pada tanggal 23 Maret 1989 asteroid berenergi kinetik lebih dari 1000 bom hydrogen 1 megaton-an (50000 kali lebih kuat dari bom yang dijatuhkan di Hiroshima) melintas dekat sekali dengan Bumi (sekitar 64000 km jauhnya dari Bumi). Para ahli memperkirakan Bumi dan asteroid yang dinamai 1989FC ini (yang berbobot 50 juta ton dan bergerak dengan kecepatan 74000 km/jam) telah melalui titik yang sama hanya berjarak 6 jam.

Ancaman untuk Bumi?
Bagaimanapun kekhawatiran pasti muncul mengingat fakta-fakta di atas dan populasi NEA yang mencapai ribuan. Munculnya kekhawatiran juga tidak terlepas dari hasil perhitungan matematis. Bila ada asteroid jatuh di Samudra Atlantik, seluruh pantai timur Amerika Serikat akan tersapu gelombang laut sampai 200-an km ke arah daratannya. Di Eropa gelombang ini menjangkau Perancis dan Portugal. Owen Toon dan koleganya dari ARC-NASA mendapatkan kalau besarnya asteroid 1 km dan jatuh di laut dengan kedalaman 4 km, efek gelombang pasangnya terasa sampai Samudera Pasifik.

Bagaimana kalau diameter asteroid 200 m dengan kecepatan 50 km/s? Adushkin dan Nemchinov dari Rusia menghasilkan gambaran yang mencemaskan. Sibakan air laut dalam waktu 40 detik bisa setinggi 35 km.

Hal ini lah yang mendorong Ballistic Missile Defence Organization atau Strategic Defence Initiative Organization mengusulkan kerja sama dengan NASA untuk merancang satelit penghancur berpeluru kendali sejak awal tahun 1990-an. Proyek ini dinamakan Clementine-2 dengan sistem LEAP (Light ExoAtmospheric Projectiles).

Dengan makin canggihnya instrumen, sekarang ini banyak ditemukan asteroid yang termasuk ‘berbahaya”. Contohnya adalah Asteroid 1997XF yang diperkirakan akan mendekati Bumi pada tanggal 26 Oktober 2028. Selain itu juga dilacak asteroid yang pada tahun 2019 akan tabrakan dengan Bumi.

Memang ancaman dari langit terasa mengerikan. Namun ditilik dari fenomena astronomis, hal ini wajar saja. Lihat saja sejoli Bumi kita, Bulan yang permukaannya bopeng dibombardir asteroid dan benda-benda kosmik lainnya. Walaupun menimbulkan kekhawatiran, akan lebih mengerikan lagi kalau kehancuran Bumi disebabkan oleh penghuninya sendiri.

Hidangan Pembuka Spektakuler Dari Saturnus

http://langitselatan.com/2009/02/19/hidangan-pembuka-spektakuler-dari-saturnus/

Rekan-rekan di Indonesia, kita akan mendapatkan sebuah paket pengamatan lengkap sebagai hidangan santap malam pada tanggal 24 Februari 2009 ini. Hidangan utama kita malam itu adalah komet Lulin (yang sedang berada pada titik terdekatnya dengan Bumi). Namun jangan salah, sebelum hidangan utama disajikan, ada sebuah hidangan lain yang dihadirkan sebagai hidangan pembuka. Apakah itu?

Tanggal 24 Februari, hidangan pembuka bagi para pengamat langit adalah kejadian transit 4 satelit Saturnus sebagai hidangan pembuka. Pembukaan transit yang dimulai dengan masuknya bayangan Titan menutupi permukaan Saturnus pada pukul 17:54 WIB. Sayangnya kejadian ini tidak dapat diamati dari Indonesia karena pada waktu tersebut Saturnus belum terbit dan Matahari belum terbenam. Kira-kira 40 menit kemudian piringan Titan akan masuk dan disusul dengan Mima, Dione, dan Enceladus.










Transit Titan dan Saturnus pada 8 Februari 2009. Kredit : Christopher Go

Transit seperti ini terhitung langka karena hanya terlihat setiap 14-15 tahun sekali saat orbit satelit-satelit Saturnus nyaris tampak samping atau sejajar dengan ekuator (khatulistiwa) Bumi. Terakhir kali Teleskop Hubble menangkap transit satelit Saturnus terjadi pada tahun 1995-1996, yakni transit Titan dan Tethys dengan Saturnus dan yang berikutnya transit Mimas, Enceladus, Dione dengan Saturnus. Ini akan jadi pertama kalinya kita melihat dan menangkap 4 satelit yang mengalami transit dengan Saturnus.

Pengamat di Indonesia akan dapat menyaksikan sebagian dari kejadian ini mulai pukul 21:00 WIB dimana posisi Saturnus cukup tinggi untuk diamati (meskipun kurang ideal karena tetap dipengaruhi faktor dispersi atmosfir). Pada waktu ini, (semoga) Titan dan bayangannya masih dapat terlihat dengan menggunakan sebuah teleskop kecil.

Kejadian ini akan berakhir menjelang tengah malam, dan ini adalah saat yang cukup tepat untuk mencari menu utama –Komet Lulin.

Semoga langit cerah pada tanggal 24 Februari nanti.. Selamat berburu dan menikmati hidangan dari langit…

bon appetite!

Cahaya dari Planet Milenium

Kompas, Sabtu, 18 Desember 1999
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/9912/18/IPTEK/caha26.htm

London, Jumat Menjelang tahun 2000, ilmu astronomi sedikit dikejutkan oleh pengumuman dua ilmuwan Skotlandia dan Amerika yang mengklaim melihat cahaya lemah dari planet besar di luar tata surya. Benda langit yang untuk sementara diberi nama planet milenium itu terlihat berkat bantuan teleskop raksasa di La Palma, Kepulauan Canary.

"Sinyal cahaya itu sangat lemah, tetapi sudah cukup memberi tahu kita bahwa ia berasal dari planet berdiameter dua kali diameter planet Jupiter dan massanya delapan kali massa Jupiter. Benar-benar monster," kata Dr Andrew Collier Cameron dari Universitas St Andrews, Skotlandia pekan ini.

Dalam empat tahun terakhir sudah 28 planet ditemukan, tetapi Cameron dan kawan-kawan merupakan orang pertama di Bumi yang melihat cahaya dari planet. Yang diketahui selama ini, planet tidak memancarkan cahaya.

Berjarak 55 tahun cahaya atau sekitar 520 trilyun kilometer dari Bumi,
bintang Tau Bootis yang dikitari planet ini dapat dilihat dengan mata
telanjang. Planet itu sendiri belum dapat diamati langsung dan eksistensinya belum dikonfirmasikan oleh astronom lain.

"Ini pertama kali kami dapat mendeteksi cahaya yang berasal dari planet,"
kata Professor Keith Horne, ilmuwan Amerika yang ikut dalam proyek ini.
"Saya kira studi atmosfer planet ini dan jenis molekul apa saja ada disana
sudah bisa dimulai."

Diterbitkan di jurnal ilmu Nature edisi Rabu 15 Desember, riset ini
melaporkan ukuran-ukuran astronomi planet tersebut dan menjelaskan apakah kehidupan dapat atau tidak berkembang di sana. "Studi ini merupakan langkah besar untuk mengetahui apakah ada kehidupan pada planet-planet yang berada di sekitar bintang," kata Horne.

Data yang sudah diketahui, selain massa dan diameternya, suhu atmosfer
planet itu sampai 2.000 derajat Celsius. (Reuters/sal)

Pesan dari Penghuni Bumi

Wahana Pioneer 10 dan 11 membawa sebuah plakat (piagam) yang berisi pesan dari umat manusia dengan harapan suatu saat pesawat beserta plakat yang dibawanya ini akan ditemukan oleh mahluk cerdas dari peradaban lain di luar Bumi.

Plakat tersebut berisi gambar sketsa pria dan wanita yang berdiri di depan pesawat. Tangan kanan si pria terangkat sebagai tanda niat baik. Postur tubuh pria dan wanita yang digambarkan merupakan hasil dari analisa komputer mengenai postur rata-rata manusia di Bumi (lihat gambar).




















Kunci untuk menterjemahkan isi plakat ini adalah pemahaman mengenai pemisahan dari elemen yang paling umum di alam semesta: Hidrogen. Elemen ini diilustrasikan pada sudut kiri atas dari plakat dalam bentuk skema yang menunjukkan transisi sempurna dari atom hidrogen netral. Siapa saja yang berasal dari suatu peradaban yang terdidik secara ilmiah dan memiliki cukup pemahaman mengenai hidrogen akan dapat menterjemahkan pesan ini. Plakat ini dirancang oleh Dr. Carl Sagan, ahli astrofisika dari Cornell Univerity dan digambar oleh isterinya, Linda Salzman Sagan.


"Pionir" Penjelajahan Antar Planet

Sinyal dari Pioneer 10, wahana antariksa pertama yang melintasi planet Jupiter akhirnya kembali terlacak setelah sebelumnya menghilang selama delapan bulan. Sinyal yang dikirim oleh wahana yang kini berada lebih dari 7 milyar mil dari bumi (sekitar 12,6 milyar km), dalam pengembaraan keluar tatasurya itu diterima oleh stasiun pelacak di Madrid, Spanyol pada 28 April 2001.

Pioneer adalah nama yang diberikan untuk serangkaian wahana antariksa untuk eksplorasi tata surya yang diluncurkan oleh Amerika Serikat. Empat wahana Pioneer yang pertama, diluncurkan dalam tahun-tahun 1958 dan 1959 dengan tujuan Bulan dan kesemuanya menemui kegagalan. Pioneer 5 sampai 9 diluncurkan antara tahun 1960 dan 1968 merupakan wahana antarplanet dengan misi pengamatan kegiatan Matahari.

Pioneer 10 diluncurkan pada tanggal 2 Maret 1972, dengan Roket peluncur Atlas/Centaur/TE364-4. Peluncurannya menandai penggunaan untuk pertama kalinya kendaraan peluncur bertingkat tiga. Roket tingkat ketiga dibutuhkan untuk meluncurkan Pioneer 10 pada kecepatan 51,810 km/jam yang dibutuhkan untuk terbang ke Jupiter, cukup cepat untuk mencapai Bulan dalam waktu 11 jam dan melintasi orbit planet Mars dalam waktu hanya 12 minggu. Hal ini mencatatkan Pioneer sebagai benda buatan manusia tercepat yang meninggalkan Bumi.

Pioneer 10 mencapai Jupiter pada jarak 130.354 km dari permukaan awan planet raksasa tersebut pada 3 Desember 1973. Dalam perlintasannya dengan Jupiter, Pioneer 10 mengirimkan gambar jarak dekat (close-up) pertama dari planet tersebut. Selepas planet Jupiter, Pioneer 10 diarahkan keluar dari tata surya dengan misi untuk mempelajari partikel energi dari matahari (juga dikenal sebagai angin surya) dan sinar kosmis yang memasuki wilayah tata surya kita di galaksi Bimasakti.

Akan halnya Pioneer 11, wahana yang diluncurkan pada 5 April 1973 tersebut berhasil mengambil gambar dari bintik merah di permukaan Jupiter yang diperkirakan menandai lokasi sebuah badai besar yang permanen dalam atmosfer Jupiter pada tanggal 2 Desember 1974 dan juga berhasil mendeteksi massa dari salah satu bulan Jupiter, Callisto. Pioneer 11 melanjutkan perjalanannya menuju Saturnus yang berhasil dicapai pada 1 September 1979 dan terbang sejauh 21.000 km dari Saturnus serta mengambil gambar jarak dekat yang pertama dari planet Tersebut.

Selepas Saturnus, Pioner 11 melanjutkan pengembaraannya keluar dari tata surya hingga pada bulan September 1995 ketika sumber tenaganya mulai melemah, Pioner 11 tidak dapat lagi melakukan observasi ilmiah sehingga operasi rutin misinya dihentikan. Saat itu Pioneer 11 berada pada jarak 6,5 milyar km dari Bumi dimana sinyal radio yang merambat dengan kecepatan cahaya membutuhkan waktu lebih dari 6 jam sebelum mencapai bumi, sementara pergerakan bumi tidak dapat dicakup oleh antena yang ada pada Pioneer 11. Komunikasi dengan Pioneer 11 terhenti sama sekali pada bulan November 1995. Wahana tersebut tidak dapat diarahkan kembali ke Bumi karena kurangnya sumber daya. Tidak diketahui apakah hingga saat ini Pioneer 11 masih mengirimkan sinyalnya. Sejauh ini tidak ada rencana untuk melakukan upaya pelacakan.

KILASAN KAWAT DUNIA

http://www.kompas.com/kompas-cetak/9907/24/LN/kila12.htm

WASHINGTON - Manusia pernah mendarat di bulan. Namun, belum diketahui, apa di sana ada air. Dua ilmuwan Universitas Stanford menyatakan Jumat (23/7), mereka meragukan keberadaan air di bulan. Maka mereka meragukan rencana peluncuran satelit ke bulan untuk mencari air, karena berpendapat misi itu cuma akan memberikan data palsu. Von Eshleman, mahaguru masalah kelistrikan dan George Parkas, profesor geologi dan ilmu lingkungan mengatakan, misi peluncuran akhir bulan, yang sengaja menabrakkan kapal angkasa ke kutub selatan bulan untuk membuka es, dapat mengelabui ilmuwan apabila kurang hati-hati. Es kemungkinan pernah terbayang pada kutub bulan, tetapi diperkirakan telah bereaksi dengan lapisan debu di permukaan bulan.

Mir Space Station

Tanggal 23 Maret 2001 lampau, stasiun luar angkasa Rusia, Mir akhirnya menyelesaikan masa tugasnya selama 15 tahun di antariksa. Pusat pengendali Misi di Korolyov, luar kota Moskow mengarahkan stasiun berukuran 33m X 30m X 27m dengan berat 137 ton itu memasuki atmosfir bumi. Benda buatan manusia yang terbesar di luar angkasa itu akhirnya meledak dan terbakar dalam proses reentry tersebut, namun sekitar 1.500 potongan dengan berat total diperkirakan mencapai 25-30 ton menembus atmosfir dalam bentuk bola api raksasa dan akhirnya mencebur di samudera Pasifik Selatan dan korodor antara Selandia Baru dan Chili, di suatu lokasi yang biasa digunakan Rusia sebagai tempat pembuangan sampah angkasa (space junkyard).

Mir (juga dikenal sebagai DOS 7, akronim Rusia untuk "Stasiun Orbit Jangka Panjang") adalah stasiun ke-10 yang diluncurkan oleh Uni Sovyet (sekarang Rusia) setelah sebelumya meluncurkan tiga stasiun militer Almaz dan enam laboratorium DOS sipil. Modul inti Mir mencapai orbitnya pada 20 Februari 1986 dan telah menempuh 86.330 orbit mengelilingi bumi sebelum misinya berakhir. Sebanyak 28 misi jangka panjang yang melibatkan 106 astronaut dari berbagai negara dengan total masa tinggal tidak kurang dari 4.591 hari (termasuk rekor terlama, 437 hari oleh ahli Fisika Valeriy Polyakov) serta serangkaian misi jangka pendek 11 hari selama satu dekade telah dilakukan di Mir. Tercatat 79 kali spacewalks (berjalan-jalan di luar angkasa) dan ribuan percobaan ilmiah dari berbagai disiplin ilmu telah dilakukan oleh para awak Mir selama masa tugasnya.

Selama mengangkasa, beberapa peristiwa kecelakaan pernah menimpa Mir. Kerusakan ringan terjadi tahun 1994 saat Mir bertabrakan dengan wahana Soyuz TM-17, sementara kerusakan yang lebih parah terjadi di tahun 1997 saat terjadi tabrakan dengan wahana Progress M-34. Persitiwa terakhir ini juga menyebabkan kebakaran selain kerusakan lain yang cukup serius pada modul Kvant (lihat bagan).